Hidup di Dunia yang VUCA

Rizky Ramadhana
3 min readSep 21, 2020

#TantanganMasaDepan #DuniaVUCA #OSKMITB2020 #TerangKembali

Dari tahun 2001, butuh sepuluh tahun sampai pengguna internet di Indonesia meningkat sebanyak 50 juta orang. Namun, dari tahun 2011, pengguna internet di Indonesia meningkat sebanyak 50 juta orang hanya dalam empat tahun. Perkembangan dan perubahan terjadi sangat masif. Para pakar menyebut kondisi ini sebagi lingkungan yang VUCA.

Apa Itu VUCA ?

Istilah VUCA populer digunakan mulai perang dunia kedua. Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang VUCA diibaratkan seperti seorang Jenderal yang memimpin perang di tengah kabut tebal. Mungkin saja ia diserang dari belakang oleh sekelompok infanteri bersenjata lengkap. Tak menutup kemungkinan sebuah peluru menyisiri pelipisnya. Di lingkungan seperti ini, banyak ancaman dan perubahan yang datang sewaktu-waktu dari seluruh penjuru. Terdapat empat unsur agar suatu keadaan bisa dikategorikan sebagai VUCA.

  1. Volatility = Isu berubah secara tiba-tiba dan masif
  2. Uncertainty = Hilangnya kemampuan kita untuk mengetahui isu tersebut secara komprehensif
  3. Complexity = Keterkaitan isu tersebut dengan banyak hal
  4. Ambiguity = Berbedanya pandangan tiap orang terhadap isu tersebut

Lingkungan Konvensional vs Lingkungan VUCA

Pada lingkungan konvensional, perubahan terjadi sangat lambat. Suasana cenderung stabil. Sehingga, dengan berbasis perhitungan resiko, kita bisa memprediksi beberapa skenario yang akan terjadi di masa depan. Lain halnya dengan lingkungan yang VUCA. Pada lingkungan ini, perubahan terjadi sangat cepat disertai banyak hal yang tidak kita ketahui secara pasti. Sehingga, memprediksi skenario di masa depan adalah hal yang mustahil.

Di lingkungan konvensional, kita mengetahui keterkaitan satu bagian dengan bagian lainnya. Sehingga, kita bisa meraba apa dampak dari keputusan yang kita ambil. Namun, hubungan antar bagian pada lingkungan yang VUCA sangatlah kompleks. Karena amat kompleksnya, kita tidak bisa mengetahui apa dampak dari keputusan yang kita ambil.

Isu Ketenagakerjaan Sebagai Isu yang VUCA

Dikutip dari https://fortunly.com/statistics/automation-job-loss-statistics/, pada tahun 2030 diperkirakan dua puluh juta pekerjaan akan hilang dan digantikan dengan robot. Tesla pun sedang mengembangkan kendaraan dengan fitur autopilot-nya, yang diprediksi akan merenggut jutaan profesi pengemudi truk dan bus. Dan tak menutup kemungkinan, di masa depan banyak pekerjaan yang hari ini dikerjakan manusia akan tergantikan oleh robot dan tenaga otomasi lainnya. Padahal, dalam dua abad terakhir tidak banyak terjadi perubahan dalam hal ini. Kita, utamanya Indonesia sebagai negara berkembang, masih mengandalkan tenaga manusia yang terampil dalam industri manufaktur. Perubahan yang masif akibat berkembangnya teknologi membuat isu ini menjadi isu yang VUCA. Ditambah lagi keterkaitan isu ketenagakerjaan ini dengan banyak hal, seperti perekonomian nasional, pengembangan sumber daya manusia, dan banyak isu lainnya membuat kita harus ekstra hati-hati dalam mengambil arah kebijakan.

Isu ketenagakerjaan menjadi sangat penting, khususnya untuk Indonesia. Karena dalam 25 tahun, Indonesia diprediksi akan mendapat bonus demografi, dimana penduduk usia produktif sangat berlimpah. Hal ini bisa menjadi hadiah terindah untuk seratus tahun kemerdekaan Republik Indonesia, atau malah menjadi bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu bila bangsa Indonesia kurang tanggap dalam memosisikan dirinya dalam perkembangan teknologi. Apalagi saat ini, Indonesia masih mengandalkan industri padat karya. Sehingga kualitas tenaga kerja tentunya memiliki andil dalam pertumbuhan ekonomi dan majunya perindustrian bangsa Indonesia.

Bagaimana Seharusnya Kita Bertindak ?

Dalam menghadapi isu yang VUCA, kita diharuskan memiliki visi yang jelas dan fleksibel dalam penerapannya. Saya percaya bahwa bangsa Indonesia harus berfokus pada memanusiakan manusia. Artinya, manusia harus mengembangkan kemampuan yang hanya bisa dimiliki manusia dan tidak dapat digantikan oleh robot dan tenaga otomasi lainnya. Kemampuan ini meliputi berpikir kreatif, berpikir kritis, serta kemampuan untuk beradaptasi. Dengan selalu mengembangkan kemampuannya dalam tiga hal ini, bangsa Indonesia bisa dengan tepat memosisikan dirinya dalam perkembangan teknologi. Pemerintah tentunya juga memegang peranan penting dalam tiga hal ini. Pemerintah bisa mengintegrasikan tiga ketrampilan tadi — berpikir kreatif, berpikir kritis, dan kemampuan beradaptasi — dengan kurikulum pendidikan dari SD sampai SMA. Sehingga, setelah lulus SMA pelajar Indonesia tidak kikuk menempatkan dirinya di tengah perkembangan teknologi. Pemerintah juga dipandang perlu untuk memberi insentif dan apresiasi kepada industri yang memanfaatkan teknologi untuk membuka lapangan pekerjaan baru. Dengan demikian, iklim inovasi dan perkembangan teknologi di Indonesia bisa terus berkembang.

Sebagai kesimpulan, berkembangnya teknologi tentunya memiliki efek disruptif yang besar terhadap banyaknya lapangan pekerjaan. Namun, menyalahkan teknologi dan menolak untuk mengakui berkembangnya teknologi adalah suatu hal yang sia-sia. Sehingga dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi, bangsa Indonesia harus mengembangkan ketrampilannya dalam berpikir kritis, berpikir kreatif, dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Dengan mengembangkan tiga ketrampilan tersebut, tenaga kerja Indonesia tidak akan kalah dengan perkembangan yang terjadi di dunia.

--

--